Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 04 Juni 2011

GOA GAJAH

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU



Goa Gajah dibangun pada abad ke-11 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten raja Bedulu. Goa ini dijadikan sebagai tempat pertapaan, yang dibuktikan dengan adanya ceruk-ceruk di dalam goa. Kekunaan disini bisa dilihat dari Peninggalan Purbakala. Di pelataran Pura Goa Gajah terdapat Petirtaan Kuna 12 x 23 M2, terbagi atas tiga bilik. Dibilik utara terdapat tiga buah Arca Pancuran dan di bilik Selatan ada Arca Pancuran pula, sedangkan di bilik tengah hanya terdapat apik arca.

Selain itu di sekitar go
a juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Yang tersisa hanya 6 patung saja, satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Enam patung ini merupakan symbol dari 7 sungai suci di India, yang merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Budha.

Pura Goa Gajah salah satu obyek wisata di bali, terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, Bali, merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna, dan salah satu situs peninggalan sejarah di bumi nusantara, Goa Gajah lebih tepat disebut pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah. Jaraknya dari Denpasar Kurang lebih 26 Km, berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani.

Nama Goa Gajah di duga berasal dari kata “Lwa Gajah”, nama Wihara atau pertapaan bagi biksu dalam agama Budha. Nama tersebut terdapat pada lontar Negarakertagama yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Kata Lwa atau Lwah (Loh) memiliki arti sungai. Oleh karena itu, yang dimaksud di sini adalah pertapaan yang terletak di Sungai Gajah atau di Air Gajah.

Dalam prasasti tahun 1103 Saka yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus disebutkan bahwa ‘Air Gajah’ adalah pertapaan bagi Pendeta Siwa. Goa Gajah di kelilingi area persawahan dengan ke indahan ngarai sungai Petanu, susasananya masi asri dan hijau. Menurut catatan sejarah, tempat wisata Goa Gajah pertama kali ditemukan oleh sarjana Belanda, Prof. Gorris dan Eting pada tahun 1923. Goa ini berbentuk huruf T dengan Arca Ganesha berbadan manusia namun berkepala gajah di sebelah kiri goa.

Arca ini dipuja dan dipercaya sebagai Dewa Penyelamat dan Pelindung Ilmu Pengetahuan. Di sebelah kanan goa terdapat Arca Trilingga (Siwa, Sada Siwa, dan Prama Siwa). Pada zaman tersebut ada peninggalan Hindu Siwa-Budha. Berdasarkan peninggalan arkeologi dan atas dasar hasil-hasil ekskavasi yang diadakan tahun 1955, dapat disimpulkan fungsi dari Goa Gajah sebagai tempat pertapaan dan wihara untuk pendeta untuk pendeta Siwa dan pendeta Budha.

Pembangunannya dimulai abad ke 10 atau 11 berdasarkan prasasti yang dipahatkan pada dinding timur dari mulut goa berupa tulisan memakai huruf Kediri Kwadrat. Tempat pertapaan Goa Gajah diyakini merupakan bentuk tiruan dari pertapaan Kunjarakunja yang ada di India Selatan, maka relief yang dipahatkan pada pertapaan Goa Gajah adalah pahatan-pahatan alam pegunungan.

Pada mulut goa sebagai pintu masuk, dihiasi pahatan kepala Kala dengan mata melirik ke arah kanan yang diyakini memiliki fungsi sama dengan Bhoma (relief muka raksasa) yang terdapat di gapura sebuah bangunan suci yang berfungsi untuk menjaga bangunan tersebut. Di kiri dan kanan pintu masuk terdapat masing masing dua buah ceruk (lubang) untuk tempat bertapa yang berada sekitar 1 meter dari tanah. Cahaya temaram yang berasal dari lampu menjadikan tempat ini tidak terlalu gelap untuk dikunjungi wisatawan tetapi juga tidak terlalu terang, karena untuk mempertahankan susana pertapaan agar terkesan sepi dan tenang.

Bagian dalam ruangan utama memiliki 11 buah ceruk (tempat bertapa) berbentuk horisontal. Pada ujung barat terdapat arca Dewa Ganesha, sedangkan di ujung timur terdapat 3 buah lingga dan masing-masing lingga tersebut di kelilingi lingga kecil. Pada bagian sebelah timur dapat ditemukan goa alami dan jenis patung-patung Budha serta pahatan-pahatan batu tebing yang sebagian besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa bumi.

Di dalam goa juga terdapat patung Ganesha, yang dianggap sebagai dewa penyelamat dan pelindung ilmu pengetahuan. Di dinding goa terdapat prasasti. Berdasarkan jenis hurufnya, prasasti ini diperkirakan ditulis pada sekitar abad ke-11. Pada setiap Purnama sasih Kapat di penanggalan Bali, kira-kira bulan September atau Oktober, diadakan upacara Piodalan di Pura Goa Gajah. Upacara ini diiringi dengan tarian dan gamelan tradisional Bali.

PURA SAMUAN TIGA

PENINGGALAN KERAJAAN BEDULU




Pura Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang. Dalam Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11 menyebutkan,

  • “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka (Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran Sasih dan Samuan Tiga.”
Dari data teks tentang sejarah Bali kuno, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting pada saat itu yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.


Menurut catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan harus memiliki tiga pura utama. Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.

Menurut ahli sejarah Bali R. Goris, pada masa itu di Bali berkembang kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan sekte yang berkembang pada masa itu. Sekte-sekte tersebut adalah Pasupata, Bhairawa, Siwa Sidhanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewi tertentu sebagai istadewata (Dewa Utama) dengan simbol tertentu.


Siwa Sidanta merupakan sekte yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling utama sedangkan yang lain lebih rendah.

Berkembangnya keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan.
Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.

Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara yang sangat termasyur. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah.

Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:

  1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
  2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
  3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
  4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).

Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.


Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kesepakatan itu diambil melalui suatu musyawarah tokoh-tokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.

Konsepsi "three in one" ini berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya –meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa. Nah, untuk memperingati peristiwa penting tersebut Pura Penataran kerajaan tersebut diberi nama Pura Samuantiga.

Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).


Pada saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh.

Pada saat piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“. Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada waktu Purnama Jehsta (Kesebelas). Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan Pusat Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu.

Bukti sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok. Pada Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan
  • ”Pada masa itu ada lagi, Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta) yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.”

(Disadur dari teks kiriman Dinas Pariwisata Kab. Gianyar – (Wilson Lalengke)



SEJARAH PURA KEBONTINGGUH

PENINGGALAN KERAJAAN TABANAN



Pura Dalem Purwa Kub
ontingguh berlokasi di Desa Adat Kubontingguh, Desa Denbantas, Kecamatan Tabanan – Kabupaten Tabanan. Lokasi tersebut di pinggiran kota Tabanan, di lereng jurang/kali/sungai. Mencapai lokasi Pura dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu :

  1. Dari jantung kota Tabanan tepatnya diperempatan kantor Bupati Tabanan menuju ke arah utara hingga kebendesaan Denbantas. Dusun Bakisan belok kiri menuju arah barat, kemudian turun menuju lembah sungai hingga sampai dilokasi Pura.
  2. Selain itu juga dapat ditempuh melalui dusun Tuakilang ke utara sampai di terminal Tuakilang belok ke kanan menuju dusun Kubontingguh sampai di lokasi Pura.
Jarak dari kota Tabanan ke lokasi Pura dari dua arah yang dimaksud adalah hampir sama + 2,5 km. Jarak dari kota Provinsi Bali ( Denpasar ) 24,5 km.

Batas-batas lokasi Pura adalah :
  • Disebelah utara jalan raya Adat Kubontingguh
  • Disebelah timur dibatasi oleh kali atu sungai
  • Disebelah selatan Persawahan subak uma tegal
  • Disebelah barat tegalan pribadi milik masyarakat setempat.
Secara Geografis Daerah ini merupakan dataran dengan ketinggian antara 100 – 150 meter di atas permukaan air laut. Tanah di Daerah ini merupakan endapan Tufa Beratan Purba. Dilihat dari vegetasi yang berkembang umumnya berupa tanaman padi, kopi, cengkeh, pisang dan beberapa jenis tanaman berumur panjang seperti enau, bambu, nangka dan kelapa. Secara Astronomislokasi ini terletak pada koordinat 115 derajat 19’15”BT. 8 derajat 9’14”LS.


SEJARAH PURA KEBON TINGGUH


Secara tertulis dalam babad Arya Tabanan koleksi Gedong Kirtya Singaraja tertulis tentang Pura Dalem Purwa Kubontingguh, disebutkan bahwa salah seorang keturunan Arya Kenceng yang berstana di Pucangan yang bergelarSri-Magadanata, lazim disebut Arya Ngurah Tabanan melakukan kesalahan membelai rambut Putra Mahkota Dalem. Akibat kesalahan ini ia di utus ke Majapahit untuk mengetahui keadaan di sana karena huru hara. Lebih jelasnya berikut disajikan kutipan babad Arya Ngurah Tabanan.

  • “Kunang Sri Magadanatha wyadin Arya Ngurah Tabanan, inutus uminter maring Majapahit, amretyaksoken Ratu wilwatikta, tan wasiteng awan mwang pangiringnya prapta maring Wilwatikta, tistis samun kang negara, aro-ara karep irang para bahudandakatekaning tani-tani, apan kinasuking gama selam, dadi malwi sira mantuking Bali”.
Artinya :
  • Diceritakan Raja Sri Magadanatha atau Arya Ngurah Tabanan, di utus oleh Ida Dalem berangkat ke Majapahit, menyelidiki keadaan Raja Majapahit, tak terceritakan dalam perjalanan bersama anggota tibalah di Majapahit, Negara dalam keadaan sepi, terkejut semua para Bahudanda demikian juga masyarakat kebanyakan, sebab dimasuki agama islam, karena itu kembali beliau ke Bali.
  • “Satibeng irang Bali, ari maring Puri Pucangan stri kambil de Dalem Gelgel tinarimaken maring kiyai Azak ring Kapal, katereh de Arya Kresna Kepakisan, kesatriyakula wetning kadiri”.
Artinya :
  • Setibanya di Bali, Adik Perempuan di Puri Pucangan diambil oleh Ida Dalem Gelgel dikawinkan dengan Kiyai Azak di Kapal, keturunan Arya Kresna Kepakisan, warga kesatrya dari Kediri.
  • “Ri telas Sri Magadanatha umarek Dalem, kawruh yan sang ari stri inarimaken ring Kyai Azak, mangen angen sira ri bendun ira Dalem, wekasan manastapa ri anten ira, dadi gelis sira aserah kedatuan ekaning pangerahningNegara ring Sang Putra pamayun apatra arya Ngurah Langwang, teher tinengeran Arya Ngurah Tabanan”.
Artinya :
  • Sesudah Sri Magadanatha menghadap Ida Dalem tahulah beliau bahwa adik perempuannya dikawinkan dengan Kyai Azak. Kecewa beliau dan marah terhadap Ida Dalem. Dengan demikian berinisiatif beliau akan bersemadhi sekeluarga, sehingga segera beliau menyerahkan tapuk Pemerintahan, demikian juga administrasi Negara kepada Putra Pertama yang bernama Arya Ngurah Langwang juga berpredikat Arya Ngurah Tabanan.
  • “Kunang Sri Magadanatha mahyun lumakwa widon, saha agawya kuwu ring arah meriti saking stana Pucangan, ingara na Kubontingguh, apan maka grahan sang sedeng sungkawa, wekasan sira analap stri, anak ira de Bendesa Pucangan, maka prenah anak amisan saking wadu de sang akuwu maring Kubontingguh”.
Artinya:
  • Diceritakan Sri Magadanatha berkeinginan meninggalkan Kerajaan serta membangun Kubu disebelah barat daya dari istana Pucangan, bernama Kubontingguh, sebab itu merupakan pondok/rumah orang sedang ditimpa kesedihan. Selanjutnya beliau mengambil istri dari Bendesa Pucangan, dipakai misan dari istri yang berkubu di Kubontingguh.
  • “Dadi wetu Putra kakung sakung sawiji ingaranan I Gusti Ketut Bendesa, I Gusti Ketut Pucangan tengeran ira waneh. Wekasan ri wus I Gusti Ketut Bendesa anandang wastra akekeris, laju sinerah aken de sang yayah ring sang kaka Arya Ngurah Tabanan tur jenek papareng ungguhin Raja Buahan, pada amukti suka wibhawa”.
Artinya :
  • Lahirlah putra laki-laki diberi nama I Gusti Ketut Bendesa dengan nama sebutan I Gusti Ketut Pucangan. Lama kelamaan sesudah I Gusti Ketut Bendesa Remaja/Dewasa, diserahkan ayahnya kepada kakaknya Arya Ngurah Tabanan dan bertetap tinggal di istana Kerajaan Buahan, serta menemui kebahagiaan hidup dan kewibawaan.

Keterangan yang serupa juga di dapat dalam babad Kutawaringin dan usana jawa. Dalam Usana Jawa Tokoh Magadanatha disebut dengan nama lain yakni : Arya Yasan.

Pada waktu Rsi Markandia dari India menyebarkan Agama Hindu menuju Jawadwipa dan selanjutnya ke Pulau Bali menuju Wangayagede yang akhirnya merabas hutan belantara sampai di suatu tempat yang selanjutnya membuat gubuk diatas tonggak-tonggak kayu ( bun-bun besar ) sebagai sandaran/peningguk yang sudah mendapat kekuatan dari sang Banaspati. Disuatu hari gubuk tersebut mengeluarkan sinar ( metu teja ) yang merupakan pemberian kekuatan dari Sanghyang Tunggal. Dari Gubuk yang berada diatas tonggak bun sebagai penyangga/peningguk yang sangat tangguh yang akhirnya disebut Kubontingguh sebagai pesraman para Yogi.

Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh merupakan kawitan umat Hindu karena merupakan kekuatan, sehingga bagi para umat Hindu yang bisa datang sujud bakti di hadapan beliau sudah jelas mendapatkan keselamatan.
Berlama-lama Bali ditaklukan oleh Majapahit pada tahun 1352 atau abad ke 13 sang Subakti Arya Kenceng mendapatkan wahyu kekuatan (kedirgayusan) sehingga beliau bersabda keturunannya mesti sujud di Pura Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh.


PENELITIAN ARKEOLOGI

Laporan penelitian arkeologi Denpasar nomor 362/F9.7/PK/2000 tanggal 15 Nopember 2000. Adanya beberapa temuan baik batu besar yang berada di depan patung Sapi dan ditempatkan di Gedong Pura / Palinggih, ini merupakan salah satu peninggalan pada jaman megalitik/jaman batu.


Di Pelinggih Gedong Agung terdapat ukiran cronogram merupakan pembuatan bangunan atau perbaikan pada saat itu terbaca sbb. Badan atau angga bernilai 1, senjata cakra bernilai 5, burung dan hewan bersayap bernilai 6, api atau dewa api bernilai 3 dan dapat dibaca atau angka tahum 1563 atau 1641 Masehi.

Pura ini oleh masyarakat Pengempon dikenal dengan sebutan “PURA KAHYANGAN JAGAT DALEM PURWA KUBONTINGGUH”. Penamaan tersebut terkait erat dengan status dan fungsi Pura yang sifatnya laind ari pura Dalem biasanya yang dikenal di kalangan umat sedharma. Kata Dalem adalah menunjukkan manifestasi Tuhan / Ida Sanghyang Widhi dalam wujud saktinya Siwa yakni yakni “Bhatari Durga” Pelambang Peleburan. Sedangkan kata Purwa diambil dari pengertian asal mula(wit = bahasa bali),berarti asal mula Pura Dalem dalam segala kebesaran prebhawanya.

Kata Purwa juga menunjukkan Pura dalam bentuk umum sebagai Kahyangan Jagat Tabanan dengan sistem tata Pemerintahan berdaulatnya Raja Diraja sebelum Negara Indonesia berbentuk Republik. Lebih jauh pengertian asal mula dimaksud adalah mulainya (kawitnya) penguasa Kerajaan mendapatkan kesempurnaan spiritual membasmi malapetaka memohon kehadapan Bhatari Durga dengan sarana mata air keramat disebut Taman Beji sebagai tempat memohon pengeleburan dasa mala.

Sebagai asal mulakeberhasilan Raja zaman dahulu tersebut menamakan Pura dengan istilah Purwa. Kata Kubontingguh adalah menunjukkan lokasi dan pengempon Pura lebih jelasnya berikut disertakan Kutipan Purana sebagai berikut :

  • ……………. Mangke wuwusen Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng ingaranan Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wawidangan panagara Singhasana Tabanan. Makadi pengancengKahyangan Puri Agung Tabanan. Maka pengelingsir Pahryangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, wewidangan jagat Tabanan, minakadi Pemangku Gede warga Pasek, abhiseka Jro Mangku Gede saking Banjar Bakisan, Panagara Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit ring Tuakilang Desa Denbantas, Wewengkon jagat Tabanan.
Artinya :
  • Sekarang keberadaan Pura Kawitan keturunan Arya Kenceng bernama Kahyangan Jagat Dalem Purwa Kubontingguh, Desa Buahan, Wilayah Kerajaan Tabanan. Sebagai Penganceng Kahyangan Puri Agung Tabanan. Sebagai sesepuh/Panasehat Parhyangan Jro Agung Kukuh, Desa Denbantas, Wilayah Tabanan. Sebagai Pemangku Gede Warga Pasek, bergelar Jero Mangku Gede dari Banjar BakisanWilayah Tabanan, Demikian juga sebagaiBhagawanta Puri Singasana Tabanan, Griya Pasekan mwang Griya Majapahit di Tuakilang Desa Denbantas Wilayah Tabanan.