Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 21 Mei 2011

CALONARANG

Calon Arang Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut.


Diceritakan bahwa ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit.

Situs Calonarang di Kediri

Naskah lontar yang berisi Ceritera Calon Arang itu ditulis dengan aksara Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12).

Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561, Beberapa bagian dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini dapat saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera bagian depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera bagian belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.

Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari tulisan Dr. Soewito Santoso tersebut.


LATAR BELAKANG SEJARAH

Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha atau Kediri, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).


Dalam masa Airlangga agama Budha. Di antara sekte-sekte agama Budha ada Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan. Ajaran ini kemudian juga dianut oleh raja Kertanegara (1268-1292 M) dari Singasari. Dengan cara demikian terjadilah pertemuan jiwa antara pelaku upacara dengan dewanya (lihat juga naskah Tantu Panggelaran disertasi dari Th. Pigeud 1924). Ajaran Tantra dimasudkan untuk kebaikan bukan kejahatan.

Ringkasan Ceritera Ceritera ini terdiri atas dua bagian:
  1. Tentang Calon Arang,
  2. Tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.

Di desa Girah tinggal seorang janda sakti bernama Calon Arang bersama dengan anak gadisnya yang sudah dewasa bernama Ratna Manggali. Karena orang takut kepada sang janda, maka tak ada laki-laki yang bernai melamar Ratna Manggali. Mengetahui hal ini, Calong Arang marah dan menenung rakyat sebagai hukuman. Caranya ia melakukan upacara yang mengerikan di atas kuburan sambil menyampaikan sesaji.

Dewi Bhagawati (mungkin identik dengan Dewi Durga) turun dan mengabulkan permohonan Calon Arang. Wabah penyakit menyebar, jika orang sakit pada pagi hari, sorenya mati. Korban terlalu banyak. Raja Airlangga mendapat laporan yang menyedihkan ini dan mencoba mencari jalan untuk memusnahkan penyakit dan penyebabnya. Mula-mula pasukan tentara dikirim ke Girah untuk membunuh Calon Arang tetapi tidak berhasil karena sang janda sangat sakti. Beberapa orang utusan raja itu terbunuh.

Calon Arang semakin marah dan semakin keras pula tenungnya ditebarkan sehingga korban rakyat semakin banyak. Raja terus berupaya sedangkan para pendeta dan resi di istana berdoa untuk mencari petunjuk. Turunlah petunjuk bahwa hanya Mpu Bharadah dari Desa Lemah Tulis yang dapat mengatasinya. Raja mengirim utusan kepada Mpu Bharadah untuk meminta tolong.

Sebuah batu berbentuk limas terpancung dalam posisi terbalik, teronggok di bawah sebuah pohon di salah satu sisi Petilasan Calon Arang. Di lokasi Petilasan Calon Arang ini terdapat empat buah batu seperti ini dengan ukuran yang hampir sama, dan diduga merupakan umpak (alas pilar) bangunan.


Permohonan diterima lalu Mpu Bharadah menyuruh putranya yang bernama Mpu Bahula untuk menghadap raja dengan maksud agar upaya mengawini Ratna Manggali dapat dibantu urusan mas kawinnya. Raja setuju dan Bahula pergi menghadap Calon Arang untuk melamar Ratna Manggali. Lamaran diterima lalu kawinlah Bahula dengan Ratna Manggali dan tinggallah Bahula di rumah mertuanya.

Dari Ratna Manggali itu Bahula tahu bahwa Calon Arang selalu membaca kitab dan tiap malam melakukan upacara di kuburan. Bahula pulang ke Lemah Tulis sambil membawa kitab dan menceriterakan kebiasaan Calon Arang kepada Mpu Bharadah. Bahula segera disuruh kembali ke Girah sebelum diketahui oleh mertuanya. Mpu Bharadah menyusul ke Girah. Dalam perjalanan ke Girah, Bharadah menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang mati yang mayatnya masih utuh, tetapi jika mayatnya rusak tidak dapat dihidupkan lagi.

Areal persawahan menuju
situs Calonarang

Di kuburan Desa Girah bertemulah Bharadah dengan Calon Arang. Bharadah memperingatkan Calon Arang agar menghentikan tenungnya karena terlalu banyak kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Calon Arang bersedia menuruti Bharadah asalkan ia diruwat oleh Bharadah untuk melebur dosa-dosanya. Bharadah tidak mau meruwatnya karena dosa Calon Arang terlalu besar. Terjadilah pertengkaran dan Calon Arang mencoba membunuh Bharadah dengan menyemburkan api yang keluar dari matanya.

Bharadah lebih sakti dan sebaliknya Calon Arang mati dalam keadaan berdiri. Kemudian Calon Arang dihidupkan lagi oleh Bharadah untuk diberi ajaran kebenaran agar bisa mencapai moksa. Calon Arang merasa bahagia karena sang pendeta mau mengajarkan jalan ke surga. Setelah selesai ajaran-ajaran itu disampaikan. Calon Arang dimatikan lagi lalu mayatnya dibakar. Dua murid Calon Arang bernama Woksirsa dan Mahisawadana dijadikan murid Bharadah.


Bharadah menyuruh Bahula untuk melaporkan pekerjaannya kepada raja di Istana. Raja dan isteri beserta pengiringnya menuju ke Girah untuk mengucapkan terima kasih kepada Mpu Bharadah, Raja kembali ke istana. Bharadah mencucikan Girah dan membangun punden untuk para Pendeta. Bharadah menyusul raja ke istana. Raja ingin menjadi murid sangat pendeta lalu diadakan upacara. Raja sudah mengeluarkan biaya upacara lalu diajarkan catur asrama, yaitu empat tataran kehidupan. Bharadah juga minta agar tradisi lama dihidupkan lagi, yaitu Dewasasana, Rajasasana, Rajaniti, Rajakapakapa, Munasasasana, Resisasana dan Adhigama.

Pembagian Kerajaan Airlangga Ceritera ini tidak relevan dengan Calon Arang, tetapi relevan dengan peranan Mpu Bharadah ketika Airlangga mendapat kesulitan untuk memberi kedudukan kepada dua puteranya tercinta. Intinya kerajaan Airlangga dipecah dua menjadi Kadiri dan Janggala; Kadiri untuk anak yang muda dan Janggala untuk anak yang tua. Peristiwa ini juga disebut dalam prasasti Aksobhya (1289 M), tetapi nama Kadiri disebut Pangjalu.

Naskah lontar Calon Arang yang berlatar belakang sejarah masa Airlangga ini penting untuk memperjelas gambaran mengenai tatacara kerajaan dan upacara-upacara keagamaan. Hal-hal demikian tidak disebutkan dalam prasasti, sedangkan pada naskah lain yang lebih muda gambarannya dikhawatirkan mengandung bias terlalu jauh.


SITUS CALONARANG


Di tengah-tengah sangat populernya dramatari Calon Arang, ternyata keberadaan situs Calon Arang yang terletak di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur belum tersentuh tangan pemerintah. Namun begitu lokasi yang diyakini sebagai bekas tempat tinggal janda yang namanya mendunia itu mendapat perhatian dari warga sekitar. Mereka merawat dan membersihkan lokasi situs yang terletak di tengah perkebunan tebu itu secara mandiri.

"Warga desa kami sangat menghormati tempat ini. Dari dulu sampai sekarang kami secara bergantian membersihkan batu-batu ini saat berangkat atau pulang dari sawah," kata Wage, salah seorang warga yang sedang membersihkan situs Calon Arang, Menurut dia, seharusnya tempat tersebut sudah waktunya mendapat perhatian dari pemerintah. Karena selain memiliki nilai sejarah, jika tidak diperhatikan bisa hilang dicuri orang.

"Meskipun secara ikhlas warga turut menjaga dan merawat tempat ini, tapi bisa saja ada orang yang tidak bertanggungjawab mencuri batu-batu ini. Apalagi lokasinya lumayan jauh dari pemukiman," katanya. Di situs itu terdapat dua buah batu yang merupakan ambang pintu dari bahan batu andesit. Ambang pintu pertama berukuran, panjang 135 cm, lebar 56 cm dan tebal 29 cm. Ambang pintu kedua berukuran: panjang 137 cm, lebar 38 cm dan tebal 23 cm. Keduanya dalam kondisi baik. Pada sisi atas di sebelah akan dan kiri terdapat dua lobang segi empat dan lingkaran. Kemungkinan ini dipakai tempat pilar penyangga semacam kusen pintu.

Selain ambang pintu terdapat 4 buah umpak dari bahan batu andesit yang rata-rata berukuran sekitar: panjang bawah 50 cm, panjang atas 45 cm, lebar bawah 50 cm, lebar atas 45 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Keempat umpak batu berbentuk prisma itu diperkirakan merupakan pondasi penyangga empat sudut rumah. Juga terdapat dua buah balok batu dari bahan batu andesit dengan ukuran, batu pertama: panjang 62 cm, lebar 40 cm dan tebal 17 cm. Batu kedua: panjang 67 cm, lebar 47 cm dan tebal 18 cm
.

J Sutjahjo Gani, salah seorang
budayawan Kota Kediri menjelaskan, tempat tersebut pernah didatangi para ahli sejarah dan budayawan dari Pulau Dewata Bali. Kedatangan mereka untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara situs tersebut dengan dramatari kolosal Calon Arang yang selama ini diklaim sebagai hasil kesenian asli Bali itu. "Situs Calon Arang pernah didatangi tim dari Bali dari Yayasan Bapak Prof. DR. Wyn Mertha Suteja, SH, PhD. Rencananya di atas tanah di mana situs Calon Arang berada dini akan dibangun semacam bangunan," kata Soetjahjo Gani, yang bertahun-tahun menelusuri ikhwal Calon Arang.

Menurut Gani, dengan kedatangan tim dari Bali itu, menunjukkan bahwa kalangan budayawan Bali juga menyepakati bahwa tanah kampung halaman Calon Arang memang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bahwa kemudian peristiwa yang terjadi di Kediri ini menjadi inspirasi bagi para budayawan Bali menciptakan dramatari Calon Arang yang terkenal di seluruh penjuru dunia. "Harus diakui bahwa Calon Arang memang asli Kediri. Sudah waktunya sejarah diluruskan dan tempat ini segera dirawat dengan layak agar tidak musnah," kata Gani

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Naskah lontar yang berisi Ceritera Calon Arang itu ditulis dengan aksara Bali Kuna. Jumlahnya empat naskah, asing-masing bernomor Godex Oriental 4561, 4562, 5279 dan 5387 (lihat Catalogus Juynboll II. P. 300-301; Soewito Santoso 1975; 11-12). Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Naskah yang termuda no. 4561,

Beberapa bagian dari naskah 4562-5279 dan 5287 tidak lengkap sehingga dengan tiga naskah ini dapat saling melengkapi. Sebenarnya naskah no. 5279 dan 5287 merupakan satu naskah; naskah no. 5279 berisi ceritera bagian depan, sedangkan no. 5387 berisi ceritera bagian belakang. Naskah tertua no. 5279 berangka tahun 1462 Saka (1540 M). Semua naskah tersebut disimpan di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal – Land – en Volkenkunde van Ned. Indies di Leiden, Belanda.

Naskah Calon Arang pernah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka (lihat “De Calon Arang” dalam BKI 82. 1926: 110-180) dan pada 1975 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Dr. Soewito santoso (lihat “Calon Arang Si Janda Dari Girah”, Balai Pustaka 1975). Uraian di bawah ini disarikan dari tulisan Dr. Soewito Santoso tersebut.

Latar Belakang Sejarah

Raja Airlangga (1006-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Prasasti tidak menyebutkan bahwa keraton Airlangga ada di Daha atau Kediri, tetapi naskah Calon Arang ini menyebutkan keraton Airlangga ada di Daha (Kediri).

Dalam masa Airlangga agama Budha. Di antara sekte-sekte agama Budha ada Sekte Tantrayana yang ajarannya lewat jalan pintas agar umatnya segera mencapai moksa. Upacara yang dilakukan antara lain menari-nari di atas kuburan dengan iringan musik (instrumen kangsi dan kemanak) sambil minum darah dan makan daging mayat yang dilakukan pada malam hari bertelanjang badan. Ajaran ini kemudian juga dianut oleh raja Kertanegara (1268-1292 M) dari Singasari. Dengan cara demikian terjadilah pertemuan jiwa antara pelaku upacara dengan dewanya (lihat juga naskah Tantu Panggelaran disertasi dari Th. Pigeud 1924). Ajaran Tantra dimasudkan untuk kebaikan bukan kejahatan.

Ringkasan Ceritera

Ceritera ini terdiri atas dua badian: yang pertama tentang Calon Arang, yang kedua tentang pembagian wilayah kerajaan Airlangga kepada dua puteranya.

Di desa Girah tinggal seorang janda sakti bernama Calon Arang bersama dengan anak gadisnya yang sudah dewasa bernama Ratna Manggali. Karena orang takut kepada sang janda, maka tak ada laki-laki yang bernai melamar Ratna Manggali. Mengetahui hal ini, Calong Arang marah dan menenung rakyat sebagai hukuman. Caranya ia melakukan upacara yang mengerikan di atas kuburan sambil menyampaikan sesaji. Dewi Bhagawati (mungkin identik dengan Dewi Durga) turun dan mengabulkan permohonan Calon Arang. Wabah penyakit menyebar, jika orang sakit pada pagi hari, sorenya mati. Korban terlalu banyak. Raja Airlangga mendapat laporan yang menyedihkan ini dan mencoba mencari jalan untuk memusnahkan penyakit dan penyebabnya.

Mula-mula pasukan tentara dikirim ke Girah untuk membunuh Calon Arang tetapi tidak berhasil karena sang janda sangat sakti. Beberapa orang utusan raja itu terbunuh. Calon Arang semakin marah dan semakin keras pula tenungnya ditebarkan sehingga korban rakyat semakin banyak. Raja terus berupaya sedangkan para pendeta dan resi di istana berdoa untuk mencari petunjuk. Turunlah petunjuk bahwa hanya Mpu Bharadah dari Desa Lemah Tulis yang dapat mengatasinya. Raja mengirim utusan kepada Mpu Bharadah untuk meminta tolong. Permohonan diterima lalu Mpu Bharadah menyuruh muridnya bernama Bahula untuk menghadap raja dengan maksud agar upaya mengawini Ratna Manggali dapat dibantu urusan mas kawinnya.

Raja setuju dan Bahula pergi menghadap Calon Arang untuk melamar Ratna Manggali. Lamaran diterima lalu kawinlah Bahula dengan Ratna Manggali dan tinggallah Bahula di rumah mertuanya. Dari Ratna Manggali itu Bahula tahu bahwa Calon Arang selalu membaca kitab dan tiap malam melakukan upacara di kuburan. Bahula pulang ke Lemah Tulis sambil membawa kitab dan menceriterakan kebiasaan Calon Arang kepada Mpu Bharadah. Bahula segera disuruh kembali ke Girah sebelum diketahui oleh mertuanya. Mpu Bharadah menyusul ke Girah. Dalam perjalanan ke Girah, Bharadah menyembuhkan orang-orang sakit dan menghidupkan orang mati yang mayatnya masih utuh, tetapi jika mayatnya rusak tidak dapat dihidupkan lagi.

Di kuburan Desa Girah bertemulah Bharadah dengan Calon Arang. Bharadah memperingatkan Calon Arang agar menghentikan tenungnya karena terlalu banyak kesengsaraan yang diderita oleh rakyat. Calon Arang bersedia menuruti Bharadah asalkan ia diruwat oleh Bharadah untuk melebur dosa-dosanya. Bharadah tidak mau meruwatnya karena dosa Calon Arang terlalu besar. Terjadilah pertengkaran dan Calon Arang mencoba membunuh Bharadah dengan menyemburkan api yang keluar dari matanya. Bharadah lebih sakti dan sebaliknya Calon Arang mati dalam keadaan berdiri.

Kemudian Calon Arang dihidupkan lagi oleh Bharadah untuk diberi ajaran kebenaran agar bisa mencapai moksa. Calon Arang merasa bahagia karena sang pendeta mau mengajarkan jalan ke surga. Setelah selesai ajaran-ajaran itu disampaikan. Calon Arang dimatikan lagi lalu mayatnya dibakar. Dua murid Calon Arang bernama Woksirsa dan Mahisawadana dijadikan murid Bharadah.

Bharadah menyuruh Bahula untuk melaporkan pekerjaannya kepada raja di Istana. Raja dan isteri beserta pengiringnya menuju ke Girah untuk mengucapkan terima kasih kepada Mpu Bharadah, Raja kembali ke istana. Bharadah mencucikan Girah dan membangun punden untuk para Pendeta. Bharadah menyusul raja ke istana. Raja ingin menjadi murid sangat pendeta lalu diadakan upacara. Raja sudah mengeluarkan biaya upacara lalu diajarkan catur asrama, yaitu empat tataran kehidupan.. Bharadah juga minta agar tradisi lama dihidupkan lagi, yaitu Dewasasana, Rajasasana, Rajaniti, Rajakapakapa, Munasasasana, Resisasana dan Adhigama.

Pembagian Kerajaan Airlangga

Ceritera ini tidak relevan dengan Calon Arang, tetapi relevan dengan peranan Mpu Bharadah ketika Airlangga mendapat kesulitan untuk memberi kedudukan kepada dua puteranya tercinta. Intinya kerajaan Airlangga dipecah dua menjadi Kadiri dan Janggala; Kadiri untuk anak yang muda dan Janggala untuk anak yang tua. Peristiwa ini juga disebut dalam prasasti Aksobhya (1289 M), tetapi nama Kadiri disebut Pangjalu.

Naskah ontar Calon Arang yang berlatar belakang sejarah masa Airlangga ini penting untuk memperjelas gambaran mengenai tatacara kerajaan dan upacara-upacara keagamaan. Hal-hal demikian tidak disebutkan dalam prasasti, sedangkan pada naskah lain yang lebih muda gambarannya dikhawatirkan mengandung bias terlalu jauh.

Di tengah-tengah sangat populernya dramatari Calon Arang, ternyata keberadaan situs Calon Arang yang terletak di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur belum tersentuh tangan pemerintah. Namun begitu lokasi yang diyakini sebagai bekas tempat tinggal janda yang namanya mendunia itu mendapat perhatian dari warga sekitar. Mereka merawat dan membersihkan lokasi situs yang terletak di tengah perkebunan tebu itu secara mandiri.

"Warga desa kami sangat menghormati tempat ini. Dari dulu sampai sekarang kami secara bergantian membersihkan batu-batu ini saat berangkat atau pulang dari sawah," kata Wage, salah seorang warga yang sedang membersihkan situs Calon Arang, Minggu (23/3).

Menurut dia, seharusnya tempat tersebut sudah waktunya mendapat perhatian dari pemerintah. Karena selain memiliki nilai sejarah, jika tidak diperhatikan bisa hilang dicuri orang.

"Meskipun secara ikhlas warga turut menjaga dan merawat tempat ini, tapi bisa saja ada orang yang tidak bertanggungjawab mencuri batu-batu ini. Apalagi lokasinya lumayan jauh dari pemukiman," katanya.

Dari pantauan Tempo, di situs itu terdapat dua buah batu yang merupakan ambang pintu dari bahan batu andesit. Ambang pintu pertama berukuran, panjang 135 cm, lebar 56 cm dan tebal 29 cm. Ambang pintu kedua berukuran: panjang 137 cm, lebar 38 cm dan tebal 23 cm. Keduanya dalam kondisi baik. Pada sisi atas di sebelah akan dan kiri terdapat dua lobang segi empat dan lingkaran. Kemungkinan ini dipakai tempat pilar penyangga semacam kusen pintu.

Selain ambang pintu terdapat 4 buah umpak dari bahan batu andesit yang rata-rata berukuran sekitar: panjang bawah 50 cm, panjang atas 45 cm, lebar bawah 50 cm, lebar atas 45 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Keempat umpak batu berbentuk prisma itu diperkirakan merupakan pondasi penyangga empat sudut rumah. Juga terdapat dua buah balok batu dari bahan batu andesit dengan ukuran, batu pertama: panjang 62 cm, lebar 40 cm dan tebal 17 cm. Batu kedua: panjang 67 cm, lebar 47 cm dan tebal 18 cm.

J Sutjahjo Gani, salah seorang budayawan Kota Kediri menjelaskan, tempat tersebut pernah didatangi para ahli sejarah dan budayawan dari Pulau Dewata Bali. Kedatangan mereka untuk membuktikan apakah ada keterkaitan antara situs tersebut dengan dramatari kolosal Calon Arang yang selama ini diklaim sebagai hasil kesenian asli Bali itu.

"Situs Calon Arang pernah didatangi tim dari Bali dari Yayasan Bapak Prof. DR. Wyn Mertha Suteja, SH, PhD. Rencananya di atas tanah di mana situs Calon Arang berada dini akan dibangun semacam bangunan," kata Soetjahjo Gani, yang bertahun-tahun menelusuri ikhwal Calon Arang.

Menurut Gani, dengan kedatangan tim dari Bali itu, menunjukkan bahwa kalangan budayawan Bali juga menyepakati bahwa tanah kampung halaman Calon Arang memang di Dusun Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Bahwa kemudian peristiwa yang terjadi di Kediri ini menjadi inspirasi bagi para budayawan Bali menciptakan dramatari Calon Arang yang terkenal di seluruh penjuru dunia, itu soal lain.

"Harus diakui bahwa Calon Arang memang asli Kediri. Sudah waktunya sejarah diluruskan dan tempat ini segera dirawat dengan layak agar tidak musnah," kata Gani

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

MPU BHARADAH

PENASEHAT RAJA AIRLANGGA


Mpu Bharadah atau Arya Bharada adalah pendeta sakti agama Buddha yang menjadi guru Airlangga Nama Mpu Bharada muncul dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon Arang, seorang janda sakti dari desa Girah.


SILSILAH KETURUNAN MPU BHARADA

tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iaki-laki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.

  1. Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali.

  2. Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem.

  3. Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000.

  4. Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem.

  5. Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.


PEMBAGIAN DUA KERAJAAN

Pada jaman Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Prabu Airlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa Pada jaman ini .kehidupan beragama dikembangkan, tri kerukunan hidup umat beragama yaitu kerukunan intern sesama agama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan pemerintah Kerajaan, benar-benar terpelihara dengan baik, bahkan sesekali dilakukan acara pujian kepada Budha, Siwa dan Rsi serta Brahma bersama-sama.

Dimana pada jamannya untuk memelihara kehidupan beragama, beberapa bangunan keagamaan didirikan, tempat-tempat suci mendapatkan perhatian dari Kerajaan. Tokoh-tokoh agama Budha, Siwa dan Rsi ditempatkan pada kedudukan terhormat di istana (prasasti baru, 1030 M dan prasasti Pucangan, 1041 M).

Airlangga adalah tokoh kharismatik yang sempurna sebagai seorang maharaja, karena mengawali perjuangannya seorang diri, tanpa bantuan dan fasilitas dari siapapun hingga Medang terbangun kembali, bahkan lebih gemilang daripada masa sebelumnya. Oleh karena itu Airlangga dianggap sebagai pahlawan perang dan pelindung rakyatnya, Raja yang sangat memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, yang memfasilitasi pendidikan dan kesusasteraan, serta memelihara tri kerukunan hidup umat beragama, adil bijaksana, yang selalu dapat menempatkan diri dimanapun dia berada, seorang Raja yang memang ditakdirkan menjadi seorang pemimpin karena bakat, yang disempurnakan oleh gemblengan perjalanan hidupnya.

Dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) disebutkan pada akhir masa pemerintahannya Airlangga berupaya meneruskan estafet kepemimpinannya, Putrinya sebagai Mahamantri Hino yang mempunyai kedudukan tertinggi setelah raja yang bernama Dewi Sanggramawijaya , dipersiapkan menjadi pengganti penguasa Kahuripan, namun dia menolak menjadi raja dan memilih menjalani hidup sebagai pertapa pada tahun 963 Çaka. Dewi Sanggramawijaya ini disebut juga dengan nama Dewi Kilisuci dan disebut juga sebagai “Putri Kedi” yaitu seorang perempuan yang memiliki kesucian karena tidak menstruasi.

Akibat penolakan putrinya tersebut Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat Airlangga juga putra sulung raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Mpu Bharada sebagai penasehat Raja Airlangga dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut. Dalam perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun. Sesampainya di Bali Mpu Bhrada kemudian menemui saudara kandungnya Mpu Kuturan di Pura Silayukti tepatnya di Gua Barada. Mpu Bharada menyampaikan permintaan Airlangga namun hal tersebut ditolak oleh Mpu Kuturan yang berniat mengangkat cucunya sebagai raja Bali.

Misi Mpu Bharada mengalami kegagalan dan Beliau kembali ke Kediri dan bertapa di Gua Selobale (letaknya sebelah barat daya Pura Penataran Agung Kilisuci). Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.


Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II dan tertulis di Prasasti Batu Tulis yang terletak di sebelah selatan Pura Agung Kilisuci tepatnya di desa Semen yang berbunyi

“ Aku telah mampu membagi Kerajaan Kahuripan menjadi dua yaitu Panjalu dan Jenggala”.

Dikisahkan, Mpu Bharada terbang sambil mengucurkan air kendi. Ketika sampai dekat desa Palungan, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam. Ia marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Oleh sebab itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya "asem pendek". Desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.

Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan. Menurut prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289, kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.
Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.

Nagarakretagama juga menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru spiritual Airlangga yang menganut agama Hindu Wisnu. Setelah membagi dua kerajaan untuk kedua orang putranya dan dirasa telah memenuhi rasa keadilan, Airlangga mengundurkan diri, turun dari tahta Keprabon, memilih kembali pada kehidupan semula sebagai seorang pertapa, dengan nama Rsi Gentayu dan beliau melinggih di Gua Selomangleng (sebelah barat Pura Penataran Agung Kilisuci), kembali pada kesucian, mendekat kepada Sang Moho Agung, hingga akhir hayatnya tahun 1049 Masehi, dan mendapat julukan Sang Prabu Apuspala Jatiningrat, Maharaja Airlanggyabhisekanira.

Dan kenyataan benar adanya, Dewi Kilisuci telah mendasari terwujudnya keberhasilan leluhur-leluhur Kejayaan Hindu pada jaman Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157 yang terkenal dengan ramalan tentang tanah Jawa. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).


MENGALAHKAN CALON ARANG

Calon Arang Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut. Diceritakan bahwa ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit.

Calon Arang mempunyai seorang puteri bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga.

Hari berikutnya, banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul. Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan putranya yang bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dan keadaan pun kembali normal.

Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang. Perkembangan kisah Cerita ini dapat dibagi dalam beberapa babak:

Prolog

Pada mulanya suasana di wilayah Kerajaan Daha sangat tentram. Raja di Daha bernama Airlangga. Di sana hidup seorang janda, yang bernama Calon Arang, yang mempunyai anak yang cantik, yang bernama Ratna Manggali. Mereka berdua tinggal di desa Girah, di wilayah Kerajaan Daha.

Awal Permasalahan Meskipun cantik, banyak pria di kerajaan tersebut yang tidak mau meminangnya. Ini disebabkan oleh ulah ibunya yang senang menenung. Hal ini menyebabkan kemarahan Calon Arang. Oleh sebab itulah dia membacakan mantra tulah, sehingga muncul mala-petaka dahsyat melanda desa Girah, dan pada akhirnya melanda Daha. Tulah tersebut menyebabkan banyak penduduk daerah tersebut sakit dan mati. Oleh karena tulah tersebut melanda Daha, maka Raja Airlangga marah dan berusaha melawan.

Namun kekuatan Raja tidak dapat menandingi kesaktian Calon Arang, sehingga Raja memerintahkan Empu Baradah untuk melawan Calon Arang. Siasat Empu Baradah Untuk mengalahkan Calon Arang, Empu Baradah mengambil siasat. Dia memerintahkan muridnya, Bahula, untuk meminang Ratna Manggali. Setelah menjadi menantu Calon Arang, maka Bahula mendapatkan kemudahan untuk mengambil buku mantra Calon Arang dan diberikan kepada Empu Baradah.

Epilog

Setelah bukunya didapatkan oleh Bahula, Calon Arang pun ditaklukkan oleh Empu Baradah



KETURUNAN EMPU BHARADA DI JAWA DAN DI BALI


Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya.

Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.

Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.

Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.

Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan.

Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali. Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali.

Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal,

Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.

sumber : babadbali.com