Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 26 April 2011

SEJARAH PURI DENPASAR



Setelah runtuhnya Puri Agung Satriya dengan wafatnya Kiyai Jambe Haeng maka Kiyai Ngurah Made dinobatkan menjadi Raja I di Puri Agung Denpasar pada tahun 1889 dengan gelar Kiyai Ngurah Made Pemecutan.

Puri Denpasar terletak disebelah utara lapangan Puputan Badung persisnya dirumah kediaman Gubernur Bali sekarang dengan pintu gerbang menghadap ke Barat. Dibencingah Puri terdapat wantilan agung tempat megadakan keramaian dan sabungan ayam. Jero Tegal Denpasar dibangun disebelah barat disebut juga Jero Kawan persisnya di Kodam Udayana sekarang.

Jero Oka dibangun disebelah timur Lapangan puputan pe
rsisnya di Musium Bali sekarang sedangkan ditengah lapangan dibangun Jero Anom kediaman putra angkat dari Jero Serongga Gianyar ,setelah puputan Badung membuat Jero disebelah barat bale kulkul di Pemecutan.

Susunan Pemerintahan
  • Raja : Kiyai Ngurah Made Pemecutan
  • Manca Agung : Kayai Jambe Jero Kuta, Kiyai Gde Gelogor di Puri Oka dan Putra Kiyai Made Tegal Cempaka Oka.


MASA PEMERINTAHAN

I GUSTI NGURAH MADE PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR I (1788 – 1810)

Setelah krisis di kerajaan Badung yang disebabkan oleh perseteruan antara Puri Kaleran Pemecutan dan Puri Ksatrya berakhir dengan wafatnya Kyai Anglurah Jambe Ksatrya, maka kekuasaan beralih kepada keluarga Sub Dinasti Pemecutan.

I Gusti Ngurah Made Pemecutan menjadi raja Puri Denpasar I , beliau adalah adik dari I Gusti Ngurah Rai yang membunuh raja Jambe Kyai Anglurah Jambe Ksatrya. Pada masa pemerintahannya, tahun 1805 beliau memperluas kekuasaannya dengan menyerang kerajaan Jembrana yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Gde Jembrana. Beliau dapat menaklukkan Jembrana dan mempercayakan Kapten Patini orang Bugis sebagai penguasa daerah tersebut. Namun tahun 1808 Buleleng merebut kembali daerah itu. Kapten Patini beserta orang-orang Bugis banyak mati terbunuh.

Pada tahun 1808 Raja Badung I Gusti Ngurah Made Pemecutan menanda-tangani kontrak dengan utusan Pemerintahan Hindia – Belanda bernama Van den Wahl. Isi kontrak adalah persahabatan antara kedua belah pihak. Belanda akan melindungi wilayah Badung, untuk itu pasukan Belanda diijinkan membangun rumah-rumah, benteng – benteng dan gudang – gudang persenjataan. Perjanjian ini dinilai oleh pengamat politik merugikan pihak Badung.

Kiyai Ngurah Made Pemecutan (Raja Puri Denpasar I) mengambil istri dari Puri Agung pemecutan mempunyai 4 orang Putra dan putri :
  1. Kiyai Agung Gde Ngurah Pemecutan ( Putra Mahkota )
  2. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Pemecutan
  3. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Karangasem
  4. Seorang Putri tidak disebutkan diambil oleh Puri Agung Mengwi
Istri dari Jero Peken Badung mempunyai 2 orang putra
  1. Kiyai Ketut Ngurah – Puri Kesiman Dauh Tukad (Cokorda Inggas Kesiman
  2. Kiyai Ngurah Jambe – Jero jambe Denpasar
Beberapa putra dari Selir diantaranya
  1. Kiyai Gde Banjar - Jero Titih
  2. Kiyai Ketut banjar - Jero Titih
  3. Kiyai Agung Dauh - Jero Belaluan
  4. Kiyai Agung Dangin - Jero dangin Gemeh
  5. Kiyai Agung Gde Samba - Jero Puwangung Gelogor
  6. Kiyai Made Samba - Jero puwangung Gelogor
Kiyai Ketut Ngurah disebut juga Kiyai Ketut Ngurah Kesiman beliau terkenal sebagai penasehat agung, tiap tiap ada perjanjian dengan orang asing maka beliaulah yang diberikan tugas untuk menanganinya.

Silsilah Puri Denpasar





MASA PEMERINTAHAN
.
I GUSTI GDE NGURAH PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR II (1810 – 1818)


I Gusti Gde Ngurah Pemecutan menjadi raja Badung tetap beristana di Puri Denpasar. Beliau memerintah Kerajaan Badung dalam waktu yang singkat. Pada masa pemerintahannya, tahun 1817 Kerajaan Mengwi pernah menyerang Badung, akan tetapi serangan dapat digagalkan. Sebelum mengakhiri jabatannya pernah disodori kontrak baru oleh pihak Pemerintah Hindia – Belanda yang diwakili oleh Van den Broek.

Kontrak ini tidak mau ditanda – tangani karena pihak Belanda tidak mau membantu Badung dalam menyerang kerajaan Lombok. Pada tahun 1818 beliau meninggal, dan sebagai pengantinya diangkat puteranya yang tertua bernama: I Gusti Ngurah Denpasar.

Kiyai Agung Gde Ngurah pemecutan mengambil istri dari Puri Agung Pemecutan mempunyai seorang putra bernama Kiyai Agung Gde Pemecutan dinobatkan menjadi Raja III di Puri Agung Denpasar.
Dari selir lahir putra putra sebagaio berikut :
  1. Kiyai Gde Raka - Jero tampaksiring
  2. Kiyai gde Rai - Jero Ayar
  3. Kiyai Ketut Ngurah - Jero Suniyanegara
  4. Kiyai Ketut Oka - Jero Suniyanegara
  5. Kiyai Gde Ngurah - Jero kesiman
  6. Kiyai Gde Jambe - Jero jambe
  7. Kiyai Gde Oka - Jero Muring dirana
  8. Kiyai Made Oka - Jero Muring dirana



MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI NGURAH DENPASAR
RAJA PURI DENPASAR III (1818 – 1829)


I Gusti Ngurah Denpasar menggantikan ayahnya sebagai Raja Badung tetap beristana di Puri Agung Denpasar. Beliau sering menderita sakit sehingga urusan pemerintah lebih banyak ditangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan yang beristana di Puri Agung Pemecutan.

Kontrak pada tahun 1826 ditanda tangani oleh I Gusti Ngurah Pemecutan, sedangkan di pihak Belanda diwakili oleh J.S. Wetters. Kontrak ini sangat merugikan Kerajaan Badung, yang antara lain menyatakan bahwa Kerajaan Badung adalah daerah taklukan Pemerintah Hindia – Belanda.

Pada tahun 1829 Raja I Gusti Ngurah Denpasar meninggal. Oleh karena beliau tidak mempunyai putera maka diselenggarakan Pesamuhan Agung Kerajaan. Hasil Pesamuhan tersebut memutuskan I Gusti Made Pemecutan yang berkedudukan di Puri Agung Kesiman menjadi Raja Badung berikutnya. Beliau kemudian bergelar I Gusti Gde Ngurah Kesiman.


MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI GDE NGURAH KESIMAN
RAJA PURI DENPASAR IV (1830 – 1861)


Pada masa pemerintahannya Kerajaan Badung mengalami kemajuan yang pesat terutama di bidang perdagangan. Ini berkat kecerdasan beliau memerintah Badung dibanding dengan pendahulunya. Tidak jarang beliau berhubungan minta nasihat kepada Dewa Manggis Raja di Puri Gianyar.

Dalam bidang perdagangan, beliau melakukan perbaikan-perbaikan jalan ruas Kesiman – Kuta, melalui desa – desa seperti: Pagan – Tatasan – Tonja – Denpasar – Titih – Suci – Alangkajeng – Celagigendong – Tegal – Buagan – Abian Timbul – dan Meregaya. Barang – barang yang menjadi komoditi adalah: kapas, pakaian, beras, barang-barang hasil kerajinan tangan, kacang tanah, buah mentimun, buah kelapa, jagung dan ketela, diperdagangkan dari kerajaan tetangganya seperti: Tabanan, Mengwi, Gianyar, Klungkung.

Sebaliknya barang – barang yang diperdagangkan Badung adalah: alat – alat rumah tangga, senjata, candu, peluru dan lain-lain. Beliau juga memaksimal dua pelabuhan, yakni: Kuta dan Tuban, disamping pelabuhan lainnya seperti: Benoa, Serangan, Sanur, dan Seseh.

Ramainya perdagangan di pelabuhan Kuta yang menguntungkan Badung, berkat usaha beliau mengadakan hubungan persahabatan yang akrab dengan saudagar berkebangsaan Denmark tetapi berkewarganegaraan Belanda bernama Mads Johann Lange.

Demikian antara lain usaha – usaha yang dilakukan Raja I Gusti Ngurah Gde Kesiman untuk meningkatkan kesejateraan rakyat Badung. Di bidang politik, atas usaha keras diplomatik beliau bersama sahabat karibnya Mads Lange, Belanda mengurungkan niat menyerang Dewa Agung Klungkung pada waktu itu. Sehingga dapat dipandang pada masa pemerintahan I Gusti Gde Ngurah Kesiman kerajaan Badung mengalami masa kejayaan.


MASA PEMERINTAHAN
I GUSTI ALIT NGURAH PEMECUTAN
RAJA PURI DENPASAR V (1861 – 1902)


Pada Tahun 1861 kerajaan Badung kehilangan tokoh karismatik I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang meninggal dalam usia 70 tahun. Beliau diganti oleh I Gusti Alit Ngurah Pemecutan atau nama lainnya I Gusti Gde Ngurah Denpasar, yang beristana di Puri Agung Denpasar.

Satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah keberhasilan Badung menamatkan Kerajaan Mengwi, yang secara resmi dinyatakan takluk pada tanggal 20 Juni 1891. Laskar koalisi Badung, Tabanan, Bangli, Gianyar, dan Klungkung berhasil menghancurkan perlawanan laskar Mengwi. Rajanya yang terakhir Cokorda Ngurah Made Agung diberi gelar Bhatara Mantuk Ring Rana.

Menurut babad Mengwi Raja Mengwi Cokorda Ngurah Made Agung gugur di tengah persawahan di sebelah Barat desa Mengwi Tani, bersama sahabat karibnya Ida Pedanda Made Bang dari Gerya Liligundi Buleleng. Sementara keluarga dan sahabatnya yang masih hidup ditawan di Badung, diantaranya Ida Pedanda Gde Kekeran ditawan dan ditempatkan di Puri Tegal.

Sebab – sebab terjadinya peristiwa Badung menyerang Mengwi, diantara babad berbeda versi, diantaranya adalah: pada masa – masa itu Dewa Agung Klungkung berseteru dengan Karangasem, merebutkan wilayah Lombok. Sedangkan Kerajaan Mengwi dan Karangasem adalah satu keturunan (satu treh: Nararya Kepakisan). Pertimbangan Dewa Agung, kalau Karangasem diserang, maka Mengwi sudah pasti akan membantu Karangasem. Oleh karena itu Mengwi perlu dihabisi dulu.

Sementara Badung sangat setia kepada Dewa Agung, karena Raja I Klungkung Dewa Agung Jambe beribu dari Badung. Apapun perintah yang diberikan Dewa Agung, Badung pasti siap melaksanakan, dan terbukti perintah dilaksanakan dengan baik. Jadi penyerbuan Badung ke Mengwi hanya semata – mata demi kepentingan Dewa Agung Klungkung, dan Kerajaan Mengwi adalah korban dari permusuhan Dewa Agung Klungkung dengan Karangasem.

Versi lainnya: untuk mengairi sawah – sawah yang ada di Badung, sumber air sebagian besar dari Tukad Ayung yang berhulu di Kerajaan Mengwi. Faktor pengairan atau irigasi sering membuat ke dua kerajaan berperang hingga puncaknya pada bulan Juni 1891.

Versi lainnya lagi: akibat pencaplokan Mengwi terhadap daerah – daerah milik kerajaan Gianyar seperti: Kuramas, Blahbatuh, Ubud, dan Payangan. I Gusti Ngurah Made Agung Raja Badung X Terakhir (1902 – 1906) Pada tahun 1902 Raja I Gusti Alit Ngurah Pemecutan meninggal. Oleh karena putera mahkota yang bernama I Gusti Alit Ngurah (Cokorda Alit Ngurah) masih belia sekitar 6 tahun, maka kedudukan beliau dijabat oleh adiknya I Gusti Ngurah Made Agung, yang beristana di Puri Agung Denpasar, yang kemudian bergelar Bhatara Mantuk Ring Rana.

Beliau tekun belajar sastra dan berguru kepada Ida Bagus Made Sidemen dari Gerya Taman Sanur, yang kemudian mediksa bernama Ida Pedanda Made Sidemen. Sementara di Puri Agung Pemecutan bertahta Kyai Anglurah Pemecutan IX yang sudah lanjut usia dan sakit – sakitan. Kedua tokoh (Cokorda kalih) inilah yang memimpin perlawanan rakyat Badung dalam Puputan Badung, dengan pusat perlawanan di Puri Agung Denpasar. Kedua Puri baik Puri Agung Denpasar dan Puri Agung Pemecutan dihancurkan oleh Belanda.

Ada 3 peristiwa atau kejadian alam penting yang dipercaya sebagai tanda atau ciri akan datangnya pralaya di bumi Badung. Ke tiga peristiwa itu adalah:

  1. Meletusnya Gunung Batur pada bulan Maret 1905. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Gunung Batur yang diyakini tempat bersemayamnya Bhatari Dewi Danu adalah tempat yang memberikan anugrah kekuasaan kepada Dinasti Pucangan di daerah Badung. 2.
  2. Pada tahun yang sama rakyat melihat bintang berekor dalam ukuran yang besar dan bercahaya terang di langit.
  3. Pada akhir tahun 1905, terjadinya peristiwa yang menakutkan rakyat Badung, adalah runtuhnya tanah tebing ke laut di Pura Uluwatu. Pura Uluwatu dipandang keramat sebagai tempat pemujaan raja – raja Badung
Belanda menuntut agar Raja Badung membayar ganti rugi sebesar f 7.500 atas perampasan kapal tersebut, yang dinilai melanggar kontrak perjanjian sebelumnya. Namun Raja Badung I Gusti Ngurah Agung menolak tuntutan tersebut karena tidak ada bukti – bukti perampasan oleh rakyat Sanur terhadap kapal yang karam itu.

Hal ini dibuktikan dengan sumpah 2800 orang penduduk desa Sanur. Pasukan Belanda mendarat di Pabean Sanur, naik ke darat bergerak dari Utara, melalui Puri Kesiman – desa Sumerta – Puri Denpasar – Puri Suci – dan terkahir Puri Pemecutan. Raja Badung Cokorda Ngurah Made Agung, dan raja Pemecutan Cokorda Pemecutan IX gugur bersama rakyatnya.

Jumlah korban tewas di pihak Badung sedikitnya 2.000 orang. Dengan demikian berakhir sudah kerajaan Badung, dan Belanda pada tahun 1908 berhasil menguasai Pulau Bali dengan menghancurkan Kerajaan Klungkung melalui Puputan Klungkung. Diselesaikan pada Anggara – Kliwon – Medangsya Penanggal ping 5 Purnama Ke Dasa Isaka 1927 Tanggal: 29 Maret 2005 Ida Bagus Wirahaji, S.Ag

Perang Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906 terjadi karena ambisi Pemerintah Hindia – Belanda untuk menguasai daerah Nusantara, sementara peristiwa karamnya kapal Wangkang Sri Komala pada tanggal 25 Mei 1904 hanyalah peristiwa kecil yang dibesar – besarkan yang dipakai sebagai dalih untuk menyerang Badung.

Denah Puri Denpasar